Sabtu, 15 Maret 2014

Dibalik Profesi Seorang Guru



Sinar matahari tak tampak pagi ini, hanya ada awan hitam yang menutupi langit cerah di pagi hari.
“Hai Sya,” sebuah tepukan di bahunya membuat  Tasya menoleh. Buku yang sedang dibacanya hampir saja terjatuh.
“Ya Allah Bunga, bikin kaget aja!”, ujar Tasya.
“Lagi ngapain Sya?” tanya Bunga.
“Lagi ‘bobok’ Bunga sayang, udah tau lagi baca buku masih aja nanya”, jawab Tasya agak sebel.
“Emang hari ini ada ulangan ya?” Tanya Bunga sambil melihat buku yang dibaca Tasya.
“Aduh Bunga…….., hari gini ketinggalan berita, hari ini tu kita ulangan Matematika teruss nanti yang dapet nilai tertinggi akan mewakili sekolah buat OSN Matematika.”
“Beneran Sya?? Kok kayaknya aku ngga pernah denger kalau hari ini ulangan Matematika”.
Tanpa pikir panjang lagi Bunga langsung mengambil buku yang dibaca Tasya.
“Tettt……tettt……tetttttt…….!” Bel masuk sudah berbunyi.
Sambil membaca buku yang dibacanya Bunga berteriak, “Sya, tungguu!!!”.
“Stttt…..tenaanggg!” Bu Nida penjaga perpus yang superjudes itu mengerutkan bibir kearah Bunga.
“Upss lupa kalo lagi di Perpus, maaf Bu”, Kata Bunga meminta maaf .
Sambil berjalan menuju kelas, Bunga memberitahu Tasya kalau sore nanti ada rapat OSIS.


Dari luar kelas X-G tidak terdengar suara apapun, hening semua. Semua mata tertuju pada selembar kertas yang dibagikan Pak Narto. Padahal, kalau hari-hari biasa kelas X-G terkenal dengan kelas yang paling rebut dan susah diatur.
Semua kepala tertunduk tak satupun mata yang saling berpandangan apalagi memandang wajah Pak Narto.

Pak Narto adalah guru matematika di SMA Al Halim, dimana Tasya dan teman-temannya menuntut ilmu. Menurut gossip panas yang sedang beredar di lingkungan Al Halim, pak Narto adalah guru yang menakutkan, kaku, galak, dan pelit senyum. Itulah yang membuat kelas X-G sunyi senyap seperti kuburan kalau sednag pelajaran matematika. Tak ada satupu murid yang bertanya, yang ada hanya pemandangan kepala tertunduk, bukannya mereka sudah paham, tapi karena mereka takut bertanya.
Dari depan, baris kedua terlihat Tasya dengan seriusnya mengerjakan ulangan matematika, tidak seperti teman-temannya yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Maklumlah, Tasya adalah keturunan darah matematika sehingga tidak salah kalau dia jago dalam pelajaran ini. Ayah Tasya adalah seorang Profesor matematika dan saat ini menjadi dosen di Amerika, semasa muda, ayah Tasya pernah menjadi juara Olimpiade matematika tingkat Internasional.
“5 menit lagi,”suara  Pak Narto mengingatkan.
Suara berisikpun mulai terdengar. Anak-anak mulai tengok sana, tengok sini. Kelaspun  berubah 360 derajat menjadi seperti Pasar.
“Tok…..tok…..toookkk,” suara penghapus yang dihantamkan Pak Narto ke meja,menandakan Pak Narto sedang memberi peringatan.
“Waktu habis ayo kumpulkan semua”, kata Pak Narto.
Dengan lesu semua murid kelas X-G mengumpulkan kertas ulangannya.
“Gimana Sya ulangan tadi?” Tanya Bunga sambil menuju tempat duduknya.
“ya, pastinya anak professor lancer lah,” sela Cindy teman sebnagku Bunga.
“Alhamdulillah,” jawab Tasya singkat.
“Eh…..eh kalian semua sebel ngga sih sama guru yang satu itu, udah tua, jelek, galak, pelit senyum lagi,” kata Vera yang tiba-tiba muncul.
“Maksud lo siapa sih main nyerocos aja,” tanya Cindy.
“Siapa lagi kalau bukan guru Matematika yang sok pintar itu,” jawab Vera.
“Maksud lho Pak Narto, lo ngga boleh gitu Ver, gimanapun Beliau berjasa buat kita kita semua,” kata Tasya pada Vera.
Satu minggu kemudian nilai ulangan Matematika keluar. Anak-anak mulai dag……dig…..dug menunggu hasil ulangan kemarin.
“Sya lo dipangil Pak Narto tu,”kata Doni salah satu teman Tasya yang baru saja dari ruang guru.
“Ada apa ya aku dipanggil Pak Narto, ke runag guru lagi.  Jangan-jangan dikira aku nyontek saat ulangan. Ah nggak…..nggak aku nggak boleh mikir yang tidak-tidak dulu,“ pikir Tasya sambil menuju ruang guru yang letaknya tidak jauh dari kelasnya.
Ternyata apa ayang ada dipikiran Tasya salah, justru dia mendapatkan kejutan yang luar biasa, yang tak pernah ada dalam pikirannya. Ternyata Tasya mendapat nilai ulangan matematika tertinggi dan itu artinya ia akan mewakili sekolahnya untuk mengikuti OSN Matematika.
Pak Narto pun meminta Tasya untuk mengikuti les tambahan di rumahnya. Sabtu pagi, Tasya ke rumah Pak Narto dengan naik kereta dan ditemani Bunga, Vera, serta berbekal denah serta alamat rumah Pak Narto.
“Sya, rumahnya mana sih perasaan kita udah naik kereta, naik bus tiga kali, masa ngga nyampe-nyampe juga, jangan-jangan kita nyasar lagi. Dasar guru yang satu ini memang nyusahin banget ya,” omel Vera.
“Huss, kamu ngga boleh gitu Ver, gimanapun juga Beliau itu guru kita. Seharusnya kamu mikir beratnya perjuangan Beliau untuk mengajar kita ke sekolah. Kita aja yang naik kendaraan capek apalagi Pak Narto yang naik sepeda,” jawab Tasya.
Rumah Pak Narto memang jauh di pinggiran kota. Setipa hari Pak Narto harus menempuh puluhan kilometer untuk sampai di sekolah dengan sepeda tuanya.
Mereka sudah sampai di rumah mungil berukuran 5x5 m. Ada beberapa tanaman di depan rumah sederhana itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar