Sinar matahari
tak tampak pagi ini, hanya ada awan hitam yang menutupi langit cerah di pagi
hari.
“Hai Sya,”
sebuah tepukan di bahunya membuat Tasya
menoleh. Buku yang sedang dibacanya hampir saja terjatuh.
“Ya Allah Bunga,
bikin kaget aja!”, ujar Tasya.
“Lagi ngapain
Sya?” tanya Bunga.
“Lagi ‘bobok’
Bunga sayang, udah tau lagi baca buku masih aja nanya”, jawab Tasya agak sebel.
“Emang hari ini
ada ulangan ya?” Tanya Bunga sambil melihat buku yang dibaca Tasya.
“Aduh Bunga……..,
hari gini ketinggalan berita, hari ini tu kita ulangan Matematika teruss nanti
yang dapet nilai tertinggi akan mewakili sekolah buat OSN Matematika.”
“Beneran Sya?? Kok
kayaknya aku ngga pernah denger kalau hari ini ulangan Matematika”.
Tanpa pikir panjang lagi Bunga
langsung mengambil buku yang dibaca Tasya.
“Tettt……tettt……tetttttt…….!”
Bel masuk sudah berbunyi.
Sambil membaca
buku yang dibacanya Bunga berteriak, “Sya, tungguu!!!”.
“Stttt…..tenaanggg!”
Bu Nida penjaga perpus yang superjudes itu mengerutkan bibir kearah Bunga.
“Upss lupa kalo
lagi di Perpus, maaf Bu”, Kata Bunga meminta maaf .
Sambil berjalan
menuju kelas, Bunga memberitahu Tasya kalau sore nanti ada rapat OSIS.
Dari luar kelas
X-G tidak terdengar suara apapun, hening semua. Semua mata tertuju pada
selembar kertas yang dibagikan Pak Narto. Padahal, kalau hari-hari biasa kelas
X-G terkenal dengan kelas yang paling rebut dan susah diatur.
Semua kepala
tertunduk tak satupun mata yang saling berpandangan apalagi memandang wajah Pak
Narto.
Pak Narto adalah
guru matematika di SMA Al Halim, dimana Tasya dan teman-temannya menuntut ilmu.
Menurut gossip panas yang sedang beredar di lingkungan Al Halim, pak Narto
adalah guru yang menakutkan, kaku, galak, dan pelit senyum. Itulah yang membuat
kelas X-G sunyi senyap seperti kuburan kalau sednag pelajaran matematika. Tak
ada satupu murid yang bertanya, yang ada hanya pemandangan kepala tertunduk,
bukannya mereka sudah paham, tapi karena mereka takut bertanya.
Dari depan,
baris kedua terlihat Tasya dengan seriusnya mengerjakan ulangan matematika,
tidak seperti teman-temannya yang mulai mengeluarkan keringat dingin.
Maklumlah, Tasya adalah keturunan darah matematika sehingga tidak salah kalau
dia jago dalam pelajaran ini. Ayah Tasya adalah seorang Profesor matematika dan
saat ini menjadi dosen di Amerika, semasa muda, ayah Tasya pernah menjadi juara
Olimpiade matematika tingkat Internasional.
“5 menit
lagi,”suara Pak Narto mengingatkan.
Suara berisikpun
mulai terdengar. Anak-anak mulai tengok sana, tengok sini. Kelaspun berubah 360 derajat menjadi seperti Pasar.
“Tok…..tok…..toookkk,”
suara penghapus yang dihantamkan Pak Narto ke meja,menandakan Pak Narto sedang
memberi peringatan.
“Waktu habis ayo
kumpulkan semua”, kata Pak Narto.
Dengan lesu
semua murid kelas X-G mengumpulkan kertas ulangannya.
“Gimana Sya
ulangan tadi?” Tanya Bunga sambil menuju tempat duduknya.
“ya, pastinya
anak professor lancer lah,” sela Cindy teman sebnagku Bunga.
“Alhamdulillah,”
jawab Tasya singkat.
“Eh…..eh kalian
semua sebel ngga sih sama guru yang satu itu, udah tua, jelek, galak, pelit
senyum lagi,” kata Vera yang tiba-tiba muncul.
“Maksud lo siapa
sih main nyerocos aja,” tanya Cindy.
“Siapa lagi
kalau bukan guru Matematika yang sok pintar itu,” jawab Vera.
“Maksud lho Pak
Narto, lo ngga boleh gitu Ver, gimanapun Beliau berjasa buat kita kita semua,”
kata Tasya pada Vera.
Satu minggu
kemudian nilai ulangan Matematika keluar. Anak-anak mulai dag……dig…..dug
menunggu hasil ulangan kemarin.
“Sya lo dipangil
Pak Narto tu,”kata Doni salah satu teman Tasya yang baru saja dari ruang guru.
“Ada apa ya aku
dipanggil Pak Narto, ke runag guru lagi.
Jangan-jangan dikira aku nyontek saat ulangan. Ah nggak…..nggak aku
nggak boleh mikir yang tidak-tidak dulu,“ pikir Tasya sambil menuju ruang guru
yang letaknya tidak jauh dari kelasnya.
Ternyata apa
ayang ada dipikiran Tasya salah, justru dia mendapatkan kejutan yang luar
biasa, yang tak pernah ada dalam pikirannya. Ternyata Tasya mendapat nilai
ulangan matematika tertinggi dan itu artinya ia akan mewakili sekolahnya untuk
mengikuti OSN Matematika.
Pak Narto pun
meminta Tasya untuk mengikuti les tambahan di rumahnya. Sabtu pagi, Tasya ke
rumah Pak Narto dengan naik kereta dan ditemani Bunga, Vera, serta berbekal
denah serta alamat rumah Pak Narto.
“Sya, rumahnya
mana sih perasaan kita udah naik kereta, naik bus tiga kali, masa ngga
nyampe-nyampe juga, jangan-jangan kita nyasar lagi. Dasar guru yang satu ini
memang nyusahin banget ya,” omel Vera.
“Huss, kamu ngga
boleh gitu Ver, gimanapun juga Beliau itu guru kita. Seharusnya kamu mikir
beratnya perjuangan Beliau untuk mengajar kita ke sekolah. Kita aja yang naik
kendaraan capek apalagi Pak Narto yang naik sepeda,” jawab Tasya.
Rumah Pak Narto
memang jauh di pinggiran kota. Setipa hari Pak Narto harus menempuh puluhan
kilometer untuk sampai di sekolah dengan sepeda tuanya.
Mereka sudah
sampai di rumah mungil berukuran 5x5 m. Ada beberapa tanaman di depan rumah
sederhana itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar