oleh : Andi Asrawaty (Republika, 13 Juni 2010)
“DI
NEGERI kami langit
selalu tampak bercahaya, dari jauh sekilas cahaya itu akan tampak indah,
berwarna-warni menghias angkasa. Namun, siapa sangka? Ternyata cahaya itu
datang meminta ribuan tumbal nyawa. Nyawa dari manusia-manusia yang jiwanya
tidak pernah merasakan takut tatkala suara-suara raksasa dari rudal-rudal
melebur bersama suara-suara senapan yang menebarkan ratusan peluru. Menyayatkan
sembilu atas ribuan nyawa. Pembantaian atas pengkhianatan kemanusiaan itu
datang dari sebuah negeri calon penghuni neraka abadi. Mereka datang dengan
hasrat kebinatangan, bukan lagi kerasukan, tapi naluri kebinatangan itu telah
menelusup, menjalar, bahkan telah mendarah daging dalam diri mereka, hingga sebuah
nyawa kaumnya tidak lebih berharga dari nyawa seekor nyamuk yang harus segera
dimusnahkan.”
“Di
negeri kami, mereka datang menumpang sebagai pengungsi, lalu sedikit demi
sedikit menggerogoti, perlahan tapi pasti mendesak kami semakin tersingkir dari
Jalur Gaza, jalur yang seharusnya menjadi hak milik kami sepenuhnya. Lalu, hari
demi hari, sedikit demi sedikit mendobrak terang-terangan menyebarkan kaki-kaki
perampasan hak-hak atas tanah kami. Konflik itu bermula pada 1948, tanggal 14
Mei saat para Zionis memperoleh kemerdekaannya di negeri kami. Sementara kami
harus terjajah di negeri sendiri. Organisasi terbesar di dunia membuat
keputusan tidak rasional, mereka mengesahkan pendudukan atas 80 persen wilayah
kami. Mereka akhirnya leluasa datang dengan ribuan tentara yang dilengkapi
senjata kaliber tercanggih, buldoser serta mesin-mesin pembunuh raksasa yang
mereka tempatkan di titik-titik penting. Menghancurkan permukiman beserta
seluruh isi dan penghuninya. Sampai saat ini, kami terjajah, tapi hanya untuk
sementara menyimpan kekuatan untuk kembali bangkit mengambil alih tanah kami.”
“Di
negeri kami, senjata, tank, mayat yang berserakan, bau anyir darah, suara
rintingan tangis, suara pejuang semua menjadi hal yang wajar. Ah… mereka sungguh
lancang menciptakan neraka mencekam di bumi di negeri kami yang kaya akan
minyak dan damai. Kami boleh saja terjajah secara fisik, namun jiwa kami tidak
akan pernah kalah oleh todongan senapan yang pelatuknya dapat kapan saja
meledakkan kepala kami.
Secara
kasat mata mereka mungkin menang, itu pun hanya sementara. Sementara mereka
semakin mengganas. Keinginan untuk melumpuhkan dan menguasai tanah air kami
secepatnya terus menguasai jiwa mereka, tapi sayang keinginan mereka hanya
sebuah mimpi utopis bagi kami karena jiwa kami tak akan pernah mungkin terjamah
oleh kehancuran fisik maupun mental.”
Suara-suara
itu terus bergema di setiap ruang pendengaranku, begitu nyata suara jeritan
seorang saudara seiman nun jauh di sana. Bukan hanya satu, kadang-kadang suara
itu menjelma menjadi dua, tiga, seratus, bahkan ribuan suara yang meneriakkan
penderitaan dan menyuarakan keteguhan hati serta menceritakan detail rekaman
rentetan peristiwa sadis yang mereka alami. Akh, ribuan saudaraku nun jauh di
sana membutuhkan pertolonganku. Jauh di dalam relung hatiku suara itu
menggedor-gedor hatiku memanggil untuk berbuat sesuatu untuk mereka.
Bersama
aktivis-aktivis Islam kami salalu melakukan aksi demonstrasi terkadang disertai
aksi teaterikal yang bercerita kebiadaban Israel dan sekutunya
memorak-porandakan negeri Palestina. Demonstrasi, menghimpun kekuatan bersama,
menyuarakan kutukan terhadap negara kafir yang menyerang tanpa nalar, melanggar
HAM, membunuh secara keji, dan di atas segalanya negara laknat itu telah melukai
dunia Islam. Aksi demi aksi kulakukan atas dasar pembelaan hak-hak Palestina
yang nyata terinjak-injak. Berharap jeritan-jeritan yang datang mengunjungi
muara nuraniku dapat sedikit berdamai.
Namun
tidak, jeritan itu semakin menjadi bahkan menjelma nyaris nyata dalam mimpiku.
Kulihat
bocah-bocah kecil yang memegang ketapel, para wanita menggengam senjata.
Tubuh-tubuh berserakan oleh bom, bangunan yang hancur menyisakan puing-puing
yang bercampur dengan darah. Akh, jeritan tangis dan perlawanan saudara-saudaraku
terdengar dan tergambar begitu jelas bukan lagi mengetuk, tapi seakan
meruntuhkan gendang telinga nuraniku.
Ditemani
embusan angin malam serta suara kendaraan yang sesekali lewat memecah kesunyian
malam, dua orang pria berdarah bugis itu masih duduk di teras suatu rumah
bercengkerama dengan sinar temaram lampu lima watt yang tak teracuhkan oleh
sinar bulan purnama.
“Daeng
aku ingin berangkat ke Palestina.” Setelah terdiam hampir satu jam lamanya
dengan pikiran masing-masing. Ismail akhirnya memenjarakan sepi dengan membuka
suaranya yang diiringi desah.
Pria
setengah baya yang disapanya Daeng hanya menyeruput kopi yang sudah tidak lagi
mengepulkan asap. Sesaat dia terdiam.
“Ternyata
selama ini, itu yang membuatmu resah Is.”
Pertanyaan
pria itu hanya sampai di situ, dia tahu benar pria muda yang telah dia anggap
sebagai adik kandung itu akan bercerita banyak padanya malam ini. Sudah tampak
lama dirinya menangkap keresahan yang terbaca tanpa kata. Tak pernah sekalipun
dia menanyakan permasalahan itu pada adiknya. Dia tahu betul kepribadian Mail
yang tertutup. Ketika dia merasakan perlu berbagi, ungkapan itu akan mengalir
sendiri, tanpa tanya, hanya ada jawab.
“Ya,
Daeng, telah lama aku memikirkan untuk hal ini.”
“Jihad?
Tapi, bukankah di sini kita juga melakukan perjuangan untuk Palestina?”
“Ya,
Daeng, tapi ….”
Daeng
hanya mengangguk, tanpa bertanya apa-apa.
Tapi,
setiap malam aku merasakan gelisah, aku mendengar jeritan yang meminta
pertolonganku. Entah itu apa? Aku merasa, mereka membutuhkanku.
“Is,
tidak usah pergi jika alasan keberangkatanmu ….”
Hanya
udara yang menyampaikan melanjutkan pria itu.
“Atas
dasar apa kau beranggapan demikian? Lalu, kau anggap aku ini siapa, Kak Yuni
siapa, anak-anak panti siapa? Kau pikir selama ini kami bukan keluarga?”
“Afwan Daeng, bukan itu, bukan,
sungguh aku sudah menganggap Daeng kakak sendiri, Kak Yuni juga, dan semua
adik-adik panti di sini. Tapi, saya merasa tidak cukup jika hanya melakukan
aksi dari jauh dan membiarkan saudara kita menderita. Jauh dalam hati nurani
saya memanggil untuk berbuat lebih dari sekadar melakukan aksi peduli dari
sini.”
“Bagaimana
dengan kuliah kamu?”
“Saya
sudah memutuskan untuk berhenti kuliah, Daeng.”
Sesaat
dia memandangi bulan purnama yang bulat, mengagumi keindahannya. Lalu, mengucap
syukur dan kagum atas kekuasaan Tuhannya.
“Kuliah?
Sudah tiga bulan saya mengikuti kuliah, Daeng, tapi saya tidak begitu tertarik
hanya berkutat dengan teori-teori itu, bukankah saya sudah dapat membacanya di
buku? Bahkan, sebelum kuliah dimulai, saya sudah paham dengan teori tersebut.
Saya akan kuliah di Palestina saja, kuliah di antara tangisan dan empati,
dengan senjata dan nyali, dengan darah dan keberanian, di antara mayat dan
persaudaraan. Itulah kuliah kehidupan yang saya inginkan. Mempraktikkan teori
secara riil! Saya rindu pahala jihad, Daeng, mereka memanggil saya Daeng, jelas
sekali jeritan itu, mereka menunggu dengan berteriak sangat keras, keras
sekali. Izinkan saya Daeng, sekarang saya hanya membutuhkan keridaan Daeng
merelakan saya pergi.”
“Sejujurnya,
tidak akan ada yang membuat saya takut menuju Palestina, saya tidak akan gentar
menghadapi Zionis, bahkan maut sekalipun, kecuali perpisahan dengan kalian.
Selain kalian, tidak akan ada yang menahan kepergianku, tidak ada yang akan
mengharapkan kedatanganku, sejak saya telah lahir yatim piatu, tak juga pernah
tahu keluarga selain Daeng, Kak Yuni, dan semua adik-adik panti. Kalian adalah
keluarga yang paling berharga yang pernah ada. Saya sudah merasa sangat
beruntung mengenal kalian, terutama Daeng yang telah membebaskan saya dari
jeratan kehidupan malam menuju cahaya Islam.
Tidak
perlu lagi Daeng keluarkan uang untuk kuliah saya, pergunakan saja untuk
adik-adik. Saya tidak mau membebani Daeng lebih jauh. Lebih dari cukup, Daeng
menyadarkan saya dari kehidupan gelap dengan dunia Islam yang begitu indah.
Dalam hal itu, saya sungguh tidak mampu membalas Daeng, hanya Allah saya selau
berharap untuk menggantikan surga sebagai ganjaran kebaikan setimpal dengan
kebaikan Daeng. Mohon Daeng jangan menghalangi saya, ini sudah keputusan saya
yang bulat.”
“Tidak
ada satu pun yang akan menghalangi kamu, Is, tidak juga aku. Sejak pertama
melihatmu di jalan sewaktu mencopetku, aku telah mendalami sinar matamu yang
menyimpan ketegasan, kini setelah memahami Islam seutuhya, kau telah matang.
Kedewasaan telah menjamah jiwa dan ragamu. Maka, apa yang harus aku kulakukan
selain doa yang tulus melepasmu mencari surga Allah yang kau dambakan.”
Ismail
akhirnya berdiri di tengah-tengah rakyat Palestina, merasakan penderitaan
menyaksikan banjir darah Palestina. Emosi pria itu tak lagi terbendung, tatkala
melihat kebiadaban berlangsung di depan matanya. Seorang tentara mencengkeram
tangan seorang anak kecil yang mencoba melempari batu ke arah pasukan Israel,
menumpahkan dendam atas kematian ibunya menjelang suara azan hendak
berkumandang. Seketika, refleks sang tentara mencengkeram tangan anak itu.
Hendak dipatahkan, hukuman tak berperikemanusiaan tak terkecuali pada
anak-anak. Dengan langkah seribu pria itu melakukan perlawanan. Namun ….
Hari
itu, tepat tiga bulan lamanya Ismail bergulat bersama berbagai suara dan
bau kematian. Setelah berhasil menembus penjara raksasa terbesar yang
diciptakan Israel untuk memblokade Palestina terhadap dunia luar. Di dalam
penjara itu mereka dipasung dengan bom, peluru-peluru seperti hendak
menghancurkan regenerasi warga Palestina.
Hari
itu, sebuah peluru telah mendarat tepat di dadanya atas pembuktian kepedulian
yang nyata atas Palestina. Tapi, Ismail tidak lagi merasakan sakit, nyerinya
telah menguap bersama jeritan-jeritan yang berteriak memanggil namanya. Senyap,
dan mengalun begitu indah bersahut-sahutan. Ismail ternyata telah menangkap
jeritan-jeritan dari surga yang telah memanggil namanya jauh di atas langit. Allahu Akbar. Akhirnya jeritan
terakhir itu diteriakkannya atas nama syahid sebagai penebus kebebasan
Palestina suatu hari nanti. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar