Senin, 21 Januari 2013

IBU, MAAFKAN AKU

oleh : Fauziah Fauzan El Muhammady
(Pimpinan Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang)
Email : elmuhammady@ymail.com

"Ibu, maafkan aku", kata-kata itu mengalir dari anak didikku, santri kelas XII yang baru saja menerima pengumuman hasil kelulusan UN tahun ini. Tubuhnya berguncang menangis dalam pelukku. Aku biarkan ia melepaskan beban hatinya, sambil kuusap kepala dan punggungnya. Dia telah membuka amplop pengumuman kelulusan dimana di sampimg namanya tertulis kata "Tidak Lulus".

Bagi sekolah kami, tahun ini adalah tahun suka cita. Para guru, ustadz, dan ustadzah yang menjadi pendidik di tingkat Madrasah Aliyah banyak meneteskan air mata haru. Betapa tidak, pencapaian sekolah kami tahun ini melejit pesat. pencapaian nilai santri naik hampir dua kali lipat. Dan itu diperolah dengan jujur setelah sekolah kami menerapkan pecat ditempat bagi santri yang ketahuan mencontek dalam lima tahun terakhir. Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil.Tahun ini dua orang santri mampu meraih peringkat nilai UN tertinggi di Sumatera Barat. Namun, di balik  kebahagiaan itu, juga ada kesedihan. Satu orang santri kami tidak lulus.

Selesai rapat guru membahas perihal kelulusan UN, aku berpikir keras. Ya Allah, bagaimanakah menyampaikan hasil ini kepada anakku? Alangkah berat baginya menerima kenyataan ini. Setelah belajar sungguh-sungguh, beribadah dengan tekun, namun ketetapan Allah SWT bagi dirinya adalah "Tidak Lulus". Aku tahu Allah Maha Adil meskipun kehidupan di sekeliling kita penuh dengan ketidakadilan. Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hambaNYA. Namun, tetap saja ada rasa perih mengalir dalam dada ketika melihat nilai yang diperoleh santriku yang hanya kurang 0,02 lagi untuk mencapai kelulusan. Terbayang betapa sungguh-sungguhnya anakku itu beribadah wajib dan sunah. Menjaga akhlak dan kesantunan. Belajar dengan tekun dan giat serta menjaga kejujuran. Namun, itu ternyata belum cukup menghantarkannya mencapai kelu;usan yang dinilai oleh manusia dan komputer canggih.

Sementara di sisi lain, betapa banyak pelajar seusianya pada saat UN yng baru berlangsung melakukan kecurangan. Kecurangan memperoleh kunci jawaban yang bahkan dikoordinir oleh guru mereka sendiri. Pemberian kunci jawaban dan transaksi itu konon dilakukan di WC sekolah. Tempat pembuangan bagian tubuh manusia yang paling kotor, itulah tempat transaksi dunia pendidikan dewasa ini. Dan semua kita seperti terhipnotis dengan TST, Tahu Sama Tahu, tetapi tidak bersuara dan pura-pura tutup mata. Dadaku perih. Para koruptor dan pengedar narkoba konon banyak tertangkap ketika bertransaksi di hotel berbintang lima. Kamar yang lux, ekslusif, wangi, dan mewah. Dengan tarif semalam bahkan bisa dua kali gaji guru PNS sebulan. Tetapi dunia pendidikan melakukan transaksi yang lebih menjijikkan, yaitu di WC sekolah yang bulukan, berlumut, banyak sampah, coretan dan bau. Disitulah nilai pendidikan diusahakn kecemerlangannya. Memilukan dan memalukan.

"Ibu, maafkan aku", kata-kata itu kembali terucap diantara isak tamgis anakku. Apa yang harus dimaafkan Nak? Tanyaku memandangnya lekat. Ananda berbuat curang? Dia menggeleng. Bagi ibu ananda semua lulus seratus persen. Lulus ujian kejujuran dan kehidupan. Termasuk dirimu , Nak. Engkau telah lulus dengan baik dalam catatan malaikat dan dalam pandangan Allah. Aku berusaha meyakinkan dirinya. "Tetapi aku gagal membuat bangga sekolah kita, Bu", jawabnya lagi. Aku memeluknya kian erat. Dan kukatakan, "Nak, semua guru dan adik-adik kelas bangga pada dirimu dan teman-temanmu. Kalian semua adalah generasi terbaik yang pernah ada dalam sejarah panjang Indonesia. Yakinlah itu". Kalian semua lulus sayang, termasuk dirimu. Ibu bangga padamu...
Dalam pelukanku, tangis santriku mereda. Dia mulai menghapus air matanya. Di wajah dan tangannya terlihat bintik-bintik hitam bekas sakit cacar yang dialaminya menjelang mengikuti UN. Lalu, ia berbisik pelan, namun jelas terdengar di telingaku. "Ya Allah, walaupun aku telah berusaha beribadah dengan taat dan benar kepadaMU, belajar dengan giat dan sungguh-sungguh karenaMU, menjaga kejujuranku saat mengikuti UN karena aku tahu aku dalam pengawasanMU. Namun, tetap Engkau takdirkan aku tidak lulus ya Allah, aku ikhlas menerimanya. Aku rela menerima ketentuanMU ya Rabbi, aku terima semuanya dengan lapang hati". Air mataku menetes tak terbendung. Kami bertangisan. Tangis bahagia, karena telah melewati satu fase terberat dalam hidup manusia, yaitu menerima ketentuan Tuhannya dengan rela dan penuh tahu diri. Subhanallah, Nk. Ibu bangga padamu. Anakku itu tersenyum, senyum tanda kesabaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar