Tulisan ini bukan hasil karyaku, tapi hasil karya anak advokasi UI. Kenapa aku tulis ulang di blogku, alasannya simple supaya tulisan ini tidak hilang dan aku mudah untuk mencarinya, selain itu tulisan ini juga mengingatkanku akan amanah dan tanggungjawab yang aku emban saat ini di Kesma BEM FMIPA UNJ dan ini adalah catatan hati seorang advokat kampus.
Selamat ## Membaca
Semoga dapat mengambil hikmah dati tulisan yang keren ini.
Seringkali kebanyakan dari mahasiswa akan
lebih memilih menjadi yang “terlihat” di kampus. Memilih menjadi sosok
pembicara, sosok atlet, sosok yang rupawan, dan sebagainya. Untuk mencapai
semua itu, segala upaya dilakukan. Segala cara ditempuh dengan sungguh-sungguh.
Ketika mereka telah tuntas dengan segala
pencapaiannya atau bahkan gagal dengan semua itu dan kembali memilih menjadi
mahasiswa biasa tanpa nilai eksistensi, ada kalanya permasalahan tetap datang. Kebutuhan
beasiswa, pembayaran biaya kuliah, system registrasi online yang bermasalah,
hubungan birokrasi administrasi dengan kemahasiswaan, dan banyak lainnya.
Diantaran banyaknya mahasiswa yang memilih
mengejar eksistensi, masih ada sebagian kecil mahasiswa yang memilih berada di belakang
layar. Masih ada mahasiswa yang rela meluangkan waktu dan pikirannya untuk
kepentingan mahasiswa lainnya.
Mereka tidak dibayar. Mereka tidak pernah
berharap dibayar. Mereka hanya didatangi ketika ada masalah. Mereka hanya
dihubungi terkadang untuk dimarahi, sebagai pelampiasan kekecewaan mereka
terhadap sistem yang ada di kampus. Ya, mereka sudah tahu konsekuensi itu,
tetapi mereka memilih menjadi yang tidak terlihat.
Mereka adalah orang-orang yang bergerak
secara tenang. Mereka adalah peredam kepanikan bagi mahasiswa lainnya yang
sudah sedemikian heboh jika ada suatu masalah terkait kemahasiswaan. Mereka kaan
berusaha tenang dan tersenyum, meskipun otaknya berpikir lebih keras, kakinya
berlari lebih cepat, dan pembelaan dihadapan para petinggi kampus terkadang
mendapat tanggapan yang kurang baik.
Bukan. Mereka bukan malaikat. Mereka juga
memiliki masalah, sama seperti kalian. Mereka juga bingung memikirkan beasiswa
yang belum cair ke rekening mereka. Mereka juga bingung memikirkan uang saku
beasiswa yang semakin mennipis untuk kebertahanan kuliah sampai akhir bulan
nanti. Mereka juga memiliki tugas-tigas kuliah yang menumpuk. Sama saja. Ya,
mereka juga mahasiswa sama seperti kalian. Mereka hanya memilih menjadi yang
tak terlihat. Mereka hanya memilih untuk memperjuangkan kalian, meski itu butuh
keberanian. Mereka juga menantikan pencairan uang beasiswa untuk membayar
kulaih. Mereka sama. Mereka juga sama seperti kalian.
Jadi, mengapa harus ada prasangka? Mengapa kita
tidak mencoba untuk berbaiksangka? Kebijakan kampus tetap berada diatas. Mereka
hanya berusaha mengadvokasi, memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan
dan memang layak diperjuangkan. Mungkin sudah seharusnya, kita belajar
mengapresiasi dan melihat dari berbagai sisi. Bahwa bukan hanya kalian yang
mengalami kesulitan, bukan hanya kalian yang mengalami penderitaan. Bukan hanya
kalian. Mereka telah begitu banyak menjadi pendengar bagi setiap keluhan
mahasiswa. Bahkan mereka hafal betul apa yang harus dilakukan bila ada maslah
ini, masalah itu, dan masalah-masalah lainnya. Mereka akan selalu mencoba
menjadi tempat yang nyaman bagimu untuk bercerita. Ya, mereka akan berusaha
memberikan solusi, meski mereka juga memiliki masalah yang mungkin jauh lebih
berat dari kalian. Namun, begitulah mereka. Yang tetap bergerak dalam jangkauan
yang tidak kalian lihat. Mereka hanya diapresiasi ketika hasil advokasi “ itu
dinilai membantu, tanpa ingin tahu seperti apa “proses advokasi” itu
berlangsung. Dan mereka –kami dan teman-teman advokasi Kesejahteraan
Mahasiswalainnya-akan tetap menjadi mahasiswa yang tidak berharap terlihat. Karena
terkadang, ketulusan itu hanya dapat dirasakan dengan hati, bukan dengan
pandangan mata.
(Fadillah Octa, Adkesma BEM FIB UI)
Salam Advokasi
***
Jakarta, Agustus 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar