Minggu, 17 Agustus 2014

Goresan Tinta Seorang Advokat Kampus

Tulisan ini bukan hasil karyaku, tapi hasil karya anak advokasi UI. Kenapa aku tulis ulang di blogku, alasannya simple supaya tulisan ini tidak hilang dan aku mudah untuk mencarinya, selain itu tulisan ini juga mengingatkanku akan amanah dan tanggungjawab yang aku emban saat ini di Kesma BEM FMIPA UNJ dan ini adalah catatan hati seorang advokat kampus. 
                                             Selamat ## Membaca
                    Semoga dapat mengambil hikmah dati tulisan yang keren ini.

Seringkali kebanyakan dari mahasiswa akan lebih memilih menjadi yang “terlihat” di kampus. Memilih menjadi sosok pembicara, sosok atlet, sosok yang rupawan, dan sebagainya. Untuk mencapai semua itu, segala upaya dilakukan. Segala cara ditempuh dengan sungguh-sungguh.

Ketika mereka telah tuntas dengan segala pencapaiannya atau bahkan gagal dengan semua itu dan kembali memilih menjadi mahasiswa biasa tanpa nilai eksistensi, ada kalanya permasalahan tetap datang. Kebutuhan beasiswa, pembayaran biaya kuliah, system registrasi online yang bermasalah, hubungan birokrasi administrasi dengan kemahasiswaan, dan banyak lainnya.

Diantaran banyaknya mahasiswa yang memilih mengejar eksistensi, masih ada sebagian kecil mahasiswa yang memilih berada di belakang layar. Masih ada mahasiswa yang rela meluangkan waktu dan pikirannya untuk kepentingan mahasiswa lainnya.

Mereka tidak dibayar. Mereka tidak pernah berharap dibayar. Mereka hanya didatangi ketika ada masalah. Mereka hanya dihubungi terkadang untuk dimarahi, sebagai pelampiasan kekecewaan mereka terhadap sistem yang ada di kampus. Ya, mereka sudah tahu konsekuensi itu, tetapi mereka memilih menjadi yang tidak terlihat.

Mereka adalah orang-orang yang bergerak secara tenang. Mereka adalah peredam kepanikan bagi mahasiswa lainnya yang sudah sedemikian heboh jika ada suatu masalah terkait kemahasiswaan. Mereka kaan berusaha tenang dan tersenyum, meskipun otaknya berpikir lebih keras, kakinya berlari lebih cepat, dan pembelaan dihadapan para petinggi kampus terkadang mendapat tanggapan yang kurang baik.

Bukan. Mereka bukan malaikat. Mereka juga memiliki masalah, sama seperti kalian. Mereka juga bingung memikirkan beasiswa yang belum cair ke rekening mereka. Mereka juga bingung memikirkan uang saku beasiswa yang semakin mennipis untuk kebertahanan kuliah sampai akhir bulan nanti. Mereka juga memiliki tugas-tigas kuliah yang menumpuk. Sama saja. Ya, mereka juga mahasiswa sama seperti kalian. Mereka hanya memilih menjadi yang tak terlihat. Mereka hanya memilih untuk memperjuangkan kalian, meski itu butuh keberanian. Mereka juga menantikan pencairan uang beasiswa untuk membayar kulaih. Mereka sama. Mereka juga sama seperti kalian.

Jadi, mengapa harus ada prasangka? Mengapa kita tidak mencoba untuk berbaiksangka? Kebijakan kampus tetap berada diatas. Mereka hanya berusaha mengadvokasi, memperjuangkan apa yang seharusnya diperjuangkan dan memang layak diperjuangkan. Mungkin sudah seharusnya, kita belajar mengapresiasi dan melihat dari berbagai sisi. Bahwa bukan hanya kalian yang mengalami kesulitan, bukan hanya kalian yang mengalami penderitaan. Bukan hanya kalian. Mereka telah begitu banyak menjadi pendengar bagi setiap keluhan mahasiswa. Bahkan mereka hafal betul apa yang harus dilakukan bila ada maslah ini, masalah itu, dan masalah-masalah lainnya. Mereka akan selalu mencoba menjadi tempat yang nyaman bagimu untuk bercerita. Ya, mereka akan berusaha memberikan solusi, meski mereka juga memiliki masalah yang mungkin jauh lebih berat dari kalian. Namun, begitulah mereka. Yang tetap bergerak dalam jangkauan yang tidak kalian lihat. Mereka hanya diapresiasi ketika hasil advokasi “ itu dinilai membantu, tanpa ingin tahu seperti apa “proses advokasi” itu berlangsung. Dan mereka –kami dan teman-teman advokasi Kesejahteraan Mahasiswalainnya-akan tetap menjadi mahasiswa yang tidak berharap terlihat. Karena terkadang, ketulusan itu hanya dapat dirasakan dengan hati, bukan dengan pandangan mata. 

(Fadillah Octa, Adkesma BEM FIB UI)
Salam Advokasi
***

Jakarta, Agustus 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar